Oleh: Fitri Callista Azzahra,
#SahabatPICAmbassador Kalimantan Utara
Masa
lalu terlalu suram untuk diingat. Saya merupakan wanita korban pemerkosaan oleh
seorang pria yang tidak pernah menjadi pacar saya. Saya merupakan anak yang
sangat berprestasi di SMA dan tak sedikit yang mau mendekati dan memacari cara.
Namun, saya tidak pernah pacaran semua saya anggap teman. Hingga malam itu
terjadi. Entah, saat itu saya mau lari bunuh diri MATI.
Saat
menulis ini, air mata saya mengalir tanpa saya sadari. Betapa ingatan itu masih
terlintas dipikaran saya. Sakit hati yang saya rasa sangat jelas terasa.
Masih terasa.
Untungnya, dia mau
mempertanggungjawabkan apa yang telah Ia lakukan itu pun saat usia kandunganku
telah 7 bulan. Tak pernah menjalin hubungan dengannya membuat aku tak begitu
mengenal dia hanya tau nama dan sosoknya saja. Akhirnya tepat tanggal 6 Mei
2013 kami menikah. Saat itu, statusku sebagai salah satu mahasiswa tercatat
dalam mahasiswa prestasi peraih beasiswa unggulan yang dibiayai oleh pemerintah
semua ongkos kuliah hingga selesai. Namun, kejadian ini membuat beasiswa saya
dicabut. Sebagai seorang istri merupakan tanggungjawab saya patuh dan taat
padanya. Tapi, apa yang saya dapati di usia kehamilan sudah besar dia selingkuh
dengan wanita lain. Saya tak marah sama sekali, saya seakan tak punya kekuatan
bahkan keberanian untuk mengungkapkan apa yang saya alami saat itu.
Dia sungguh pandai bermain
kata-kata. Dia sungguh bisa memutar balikkan fakta. Hingga suatu ketika tiba
saatnya aku harus melahirkan. Aku melahirkan dirumah mertuaku, perlakuan mertua
sungguh sangat jauh berbeda dengan ibu saya. Hari ketika anak saya dilahirkan
terjadi gelombang besar sehingga ibu saya tidak bisa menjenguk saya. Saya tahu
persis apa yang beliau rasakan. Anak saya merupakan anak yang luar biasa sejak
usia kandungan masih muda, saya tetap melakukan aktivitas fisik dengan jadwal
kegiatan kuliah dan organisasi yang padat. Bahkan ketika memasuki usia
kehamilan 5-6 bulan dimana dia mulai lincah berkontraksi di dalam rahimku aku
tengah mengikuti berbagai perlombaan. Dan Alhamdulillah juara.
Bahkan ketika
usia kehamilanku 8-9 bulan aku persiapan Ujian Akhir semester. Tak pernah
ditemani sama sekali dengan sosok suami yang seharusnya menemaniku kemanapun aku pergi menjagaku dengan buah hati di dalam rahimku. Ya Allah aku merasa
benar-benar lemah, namun kekuatanku bangkit setiap aku rasa ada kehidupan di
dalam rahimku.
Ujian akhir semester pun berlalu,
dan aku melahirkan disaat masa libur kuliah. Tepat selesai masa nifasku 40 hari
bertepatan dengan pertengahan registrasi daftar ulang. Aku berangkat
meninggalkan anakku, yang masih merah. Yang masih membutuhkan ASI. Aku berada
pada pilihan berat. Anakku yang membutuhkan aku dan tuntutan kuliahku yang
harus aku selesaikan tepat waktu. Suamiku tak mengizinkan aku menyusui anakku,
hanya sesekali saja. Dia sengaja melakukan itu, katanya kau kan harus kuliah,
kalau kau dekat sama anakmu nanti kau gak bisa kuliah. Piliihan yang sangaat
sulit. Sungguh sangaat-sangat sulit.
Aku pun meminta izin membawa
anakku ke Tarakan untuk aku susui hingga berusia minimal 6 bulan. Toh disana juga
ada orangtuaku. Tapi, tak diizinkan. Dan aku diantarkan begitu saja
di pelabuhan, lalu ditinggalkan. Akhirnya aku berangkat sendiri dengan
berlinangan air mata meninggalkan bayiku yang masih tak mengerti apa yang
terjadi.
Lanjut membaca >>> Pemerkosaan, Saya dan Suami : Pencarian Makna (part 2).