Oleh: Fitri Callista Azzahra,
#SahabatPICAmbassador Kalimantan Utara
Ya Allah, Usiaku saat itu masih 19 tahun. Aku tak pernah tau apa yang pernah aku lakukan higga aku bernasib seperti ini. Menyalahkan keadaan, menyalahkan nasib, tak tahu nasib masa depanku nanti. Hingga seorang sahabat menyadarkanku aku masih punya harapan. Cita-cita itu masih bisa dikejar. Dia selalu menemaniku disaat saat aku rapuh hingga saat ini.
Suamiku jarang sekali ke Tarakan bahkan setiap minggunya akulah yang selalu mengunjunginya bersama anakku. Bahkan ketika lebaran pun dia tak pernah ke rumah orang tuaku. Aku telah mengabdikan diriku baginya dan keluarganya. Namun tak sedikit pun dia menghargai orang tuaku. Entah apa alasannya tak mengizinkan aku membawa anakku. Setiap aku meminta izin untuk membawa anakku ke tarakan dia pasti marah, pasti kasar sama aku.
Ibuku juga nenek dari cucunya tapi tak pernah diizinkan untuk memelihara cucunya barang sehari pun. Aku terus sabar melalui hari-hariku bersamanya dan kuliahku. Beasiswaku memang tak lagi ku dapatkan. Namun melihat prestasiku yang tak pernah jatuh dan keterlibatanku dalam mengharumkan nama kampus membat aku selalu mendapat beasiswa disetiap semesternya. Masih ada harapan untukku meraih cita-cita. Namun bagaimana dengan anakku. Buah hatiku.
Sikapnya yang tak pernah mengizinkan aku memelihara anak kandungku sendiri semakin lama semakin jadi. Aku baru tahu, ternyata aku hanya dinikahi untuk menghasilkan keturunan dan pemuas nafsunya belaka. Dia tak pernah melakukannku selayaknya seorang istri yang ia cintai. Tak pernah memperlakukanku bak bidadari dirumhnya.
Aku yang biasanya tiap minggu selalu menjengguk anakku. Ketika aku KKN dan tak mungkin bagiku untuk menjenguk anakku, saat itu dia memiliki waktu off kerja tak pernah mengunjungiku. Bahkan aku telah memohon padanya agar bisa mengunjungiku, tapi dia malah memarahiku dan berkata-kata kasar padaku. Dan lagi-lagi aku hanya bisa diam.
Sosok imam dalam keluargaku pun tak ada. Dia tak pernah mengajakku untuk sholat, bahkan ketika aku mengajaknya untuk menikah lagi karena keadaanku yang kemarin, dia malah menolak dan berkata belum siap. Tapi setiap malam dia selalu minta dilayani. Dan aku tak bisa menolak.
Aku sudah gerah dengan keadaan ini aku udah bosan dengan keadaan ini bahkan aku sudah tak ingin seperti ini lagi. Aku butuh sosok imam yang slalu mengajakku kepada kebenaaran mengharap ridho dari Allah. Dia selalu megajakku jalan dengan pakaian-pakaian jilbab sexy. Dia bangga memamerkan istrinya yang cantik dan sexy itu ungkapnya. Aku malu aku rishi penampilanku sebelum menikah jauh berbeda. Aku tak mau lagi seperti ini. Sangat tidak ingin lagi.
Hingga akhirnya aku harus menyelesaikan tugas skripsiku. Biasanya 3 hari dalam seminggu aku balik. Kini sebulan hanya sekali saja aku mengunjunginya dan anakku. Dan lagi, walau aku tak selalu menyuapi dan tak rutin menyusui anakku. Tetapi setiap aku pulang anankku tak mau dengan yang lain. Hanya mau bersamaku. Hanya ingin bersamaku. Bahkan aku ke WC pun dia ikut. Bahkan ketika akan diambil oleh bapaknya atau neneknya dia selalu menangis kencang dan ingin ikut denganku. Mungkin inilah kekuatan doa yang selama ini aku panjatkan.
Berada di Kabupaten Bulungan, skripsiku ini tantangan juga buatku. Karena selama ini mahasiswa ujuk-ujuknya menggunakan regresi linier berganda, dan aku menggunakan regresi data panel yang tak pernah diajarkan oleh dosen statistic. Bahkan sepanjang sejarah universitas ku berdiri belum ada yang menggunakan alat analisis itu. Bahkan dosen pembimbingku saja tak tau mengenai alat analisis ku itu.
Lanjut membaca >>> Pemerkosaan, Saya dan Suami : Pencarian Makna (part 3).
Lanjut membaca >>> Pemerkosaan, Saya dan Suami : Pencarian Makna (part 3).