2 Agu 2016


Oleh : Oleh : Hengki Agus Rifa'i, ‪
#‎SahabatPICAmbassador Sumatera Barat

Dunia pendidikan  tanah air belakangan ini kembali disuguhkan dengan berita yang cukup memprihatinkan. Media menyoroti adanya kasus pemenjaraan beberapa guru sekolah di sejumlah daerah atas dasar kekerasan fisik yang dilakukan kepada siswa mereka. Sebagian besar masyarakat menyayangkan upaya tindakan hukum yang diambil karena menganggap kekerasan yang dilakukan guru tergolong minor dan tindakan guru tidak lain hanyalah untuk mendidik atau mendisiplinkan siswa. Reaksi yang paling mencolok atas mencuatnya kasus ini mungkin adalah munculnya wacana pengesahan undang-undang perlindungan guru untuk mencegah kriminalisasi atas kekerasan minor di kemudian hari. 

Katakan Tidak Pada Bullying


Menariknya, sejumlah sekolah di kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, menerapkan sebuah kebijakan unik untuk mencegah terjadinya kasus serupa di sekolah mereka. Siswa tahun ajaran baru diwajibkan untuk membuat sebuah surat perjanjian yang menyatakan persetujuan untuk tidak melaporkan tindak kekerasan fisik minor oleh guru sekolah sepanjang hal itu dilakukan untuk mendidik siswa. Sayangnya, kebijakan seperti ini hanya memperparah pola pendekatan dalam pendidikan; menormalisasikan kekerasan.


Budaya Bullying dan Normalisasi Kekerasan dalam Pendidikan

Hal pertama yang patut diperhatikan mengenai reaksi masyarakat terhadap munculnya kasus ini adalah hukuman sosial yang harus diterima siswa. Mayoritas publik cenderung mengutuk tindakan pelaporan yang dilakukan orang tua siswa dan sebagai balasannya melakukan bullying secara masif kepada siswa yang bersangkutan melalui media sosial. Aksi ini sangat disayangkan bahkan tidak diperlukan karena justru memperkeruh keadaan. 

Tindakan bullying secara besar-besaran bisa saja meninggalkan dampak psikologis yang mendalam bagi siswa yang bersangkutan. Siswa justru menjadi tersudut, tidak merasa terlindungi dan diayomi. Walaupun tindakan yang diambil orang tua dengan melaporkan guru kepada pihak kepolisian mungkin saja berlebihan, bullying sebagai bentuk "pembalasan" tentu bukanlah tindakan yang arif karena bagaimanapun siswa sejatinya adalah korban, sekecil apapun kekerasan yang dilakukan, dan oleh karena itu, mereka sewajarnya mendapatkan perlindungan. 

Bullying bukanlah cara yang edukatif melainkan justru membuat siswa menjadi merasa bersalah terus menerus. Tidak hanya itu, bullying ternyata juga memperburuk hubungan sosial antara siswa tersebut dan teman-temannya. Siswa menjadi bahan pembicaraan sosial dan pada skenario terburuk, dijauhi oleh sebagian temannya.

Hal selanjutnya yang sebenarnya merupakan dampak lanjutan dari tindakan bullying oleh publik adalah kesulitan siswa dalam melanjutkan proses pendidikannya. Dalam beberapa kasus sebagaimana diberitakan media, siswa dikeluarkan dari sekolah karena orang tua yang menolak upaya mediasi dan enggan mencabut tuntutannya. Yang lebih parah, ketika siswa harus pindah sekolah, semua sekolah menolak menerima siswa tersebut dengan alasan kasus tersebut. 

Kejadian ini justru menghambat akses pendidikan lanjutan bagi siswa tersebut yang sangat penting untuk masa depannya. Publik tidak seharusnya bertindak sebagai "hakim" secara berlebihan dengan menjatuhkan vonis sosial yang berdampak besar terhadap masa depan siswa tersebut. Adalah sebuah hal yang patut disesalkan jika pada akhirnya siswa harus putus sekolah hanya karena kegagalan masyarakat dalam menyikapi masalah ini dengan bijaksana. Budaya bullying, walaupun dilakukan dengan tujuan "memberikan pelajaran" sekalipun, tidak dapat dibenarkan dan sudah sepatutnya dihentikan apalagi jika terbukti menyulitkan seseorang atau kelompok dalam mendapatkan apa yang seharusnya menjadi miliknya.

Langkah yang diambil sejumlah sekolah di Sijunjung, Sumatera Barat, untuk mencegah terjadinya kejadian serupa juga merupakan kebijakan yang tidak semestinya dibenarkan, apalagi didukung. Kebijakan tersebut justru berpotensi menormalisasikan praktik kekerasan dalam proses pendidikan di sekolah. Hal ini tidak lain karena dengan adanya surat perjanjian yang ditanda tangani siswa dan orang tua siswa tersebut, guru dapat menggunakan kekerasan dalam mengajar. 

Dengan menggunakan dalih ini, guru akan lebih terpancing untuk menggunakan kekerasan ketika dipandang perlu khususnya dalam menghadapi siswa yang dianggap "membandel" di sekolah. Praktik belajar mengajar yang disertai dengan mencubit dan memukul kemungkinan besar akan lebih sering ditemukan karena guru tidak takut dituntut berdasarkan kesepakatan yang telah disetujui sebelumnya, apalagi tidak ada batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan "kekerasan untuk tujuan pendidikan". 

Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa siswa hanya dapat belajar dengan baik jika mereka merasa tenang dan nyaman dalam proses pembelajaran tersebut. Penggunakan kekerasan atau tindakan represif, sekecil apapun itu, tidak menciptakan suasana belajar yang kondusif dan justru sebagai akibatnya, tidak menyalurkan nilai-nilai pendidikan yang maksimal. Sudah saatnya kita mengakhiri budaya bullying dan normalisasi kekerasan dalam pendidikan seperti ini yang dianggap remeh tapi pada faktanya berdampak besar terhadap siswa. Sudah saatnya kita kembali pada pendidikan tanpa kekerasan karena senakal apapun siswa, kekerasan tidak akan membuat mereka lebih baik. Siswa belajar dari tindakan, dan tindakan kekerasan bukanlah pembelajaran yang baik.

SEMUA BISA WAKAF

SEMUA BISA WAKAF
Wakaf Mulai Rp 100.000 Saja. Bagi >Rp 1.000.000 Akan Mendapatkan Sertifikat Wakaf

Category

#YukHusnudzon! Acara Pemuda Aceh Africa Agenda Agent Pembicara Alumni Ambassadors America Arabian Arti Hidup Asean Asia Audio MP3 Bali Banten Bengkulu Berita Pemuda Bersyukur Buku Bahas Pemuda Bung Faisal Catatan Masa Muda Ceramah Character Building Cinta Qur'an Conference Da'i Dasar Kebijakan Download Ebook EduWeb Europe Exstra Fenomena Masyarakat Gathering Sahabat PIC Gerakan Pemuda Global vision Go Edu Travel Gorontalo Honeymoon Backpacker How To Indonesia Inspirasi International Conference Islam Internasional Islam Nusantara Jakarta Jambi Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Kalimantan Selatan Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Utara Karir Kerja Karya #SahabatPIC Karya Ambassador Karya Team Karya Tokoh Keluarga Muda Kemendikbud Kemenpora Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Maluku Kepulauan Riau Lampung Layanan Links Liputan Media Maluku Maluku Utara Motivasi Motivasi Inspirasi National Conference Nationalism Nekad Delegates Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Outbound Papua Papua Barat Peduli Pemuda Pelatihan Ramadhan Pemberdayaan Pemuda Pemerintah RI Pemuda Desa Pemuda Kece Membaca Pemuda Qur'an Penerbit Buku Pengembangan Pemuda PHBI PHBN Photo PIC Pustaka Poster Profil Profil Motivator PIC Center Program Public Speaking Training Puisi Pulau Jawa Pulau Papua Pulau Sumatera Quotes Inspirasi Qur'an Renungan Riau Rules Sahabat PIC Sejarah Pemuda Seminar SpeakUp Course Sukses UN Sulawesi Barat Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara Sumatra Barat Sumatra Selatan Sumatra Utara Testimoni Tips Belajar Tips Bergaul Tips Berprestasi Tips Cinta Tips Facebook Tips Ibadah Tips Jejaring Sosial Tips Membaca Tips Pendidikan Tips Remaja Tips Semangat Tips Wanita Tokoh Inspirasi Tokoh Pemuda Training Anak Muda Training Entrepeneurship Training Leadership Training Motivasi Training SMA SMK MA Travel Training True Story UKMWeb Video Visualisasi Afirmasi Mimpi Writer Training YHNC Yogyakarta Young Husnudzon Youth Achievement

Positive Impact Center (PIC Center)

Positive Impact Center (PIC Center)
Training & Development

Digital WM

Digital WM
Web Maker & IT Services

Iqromdia

Iqromdia
Penerbit Buku

Pesantren Ramadhan Online

Visitor