Oleh : Hengki Agus Rifa'i,
#SahabatPICAmbassador Sumatera Barat
Berdasarkan penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) OECD 2012, Indonesia menempati peringkat kedua terendah dari 65 negara peserta penilaian kualitas siswa Internasional tersebut. Posisi ini justru menurun dari hasil penelitian yang sama pada tahun 2009 dimana Indonesia masih berada di peringkat sepuluh terbawah dari 65 negara peserta. Hasil PISA 2009 juga menunjukkan bahwa hampir semua siswa Indonesia hanya menguasai pelajaran sampai level 3 saja, sementara banyak siswa negara lain yang menguasai pelajaran sampai level 4, 5, bahkan 6. Kedua penelitian menunjukkan bahwa siswa Indonesia masih memiliki kemampuan akademik yang relatif jauh lebih rendah dibanding siswa negara-negara lain terlepas dari berbagai inovasi program peningkatan kualitas pendidikan yang telah dijalankan Pemerintah seperti sertifikasi dan pengembangan profesionalitas guru.
Pendidikan Aktif dan Kritis |
Hasil penelitian PISA tidak dapat dipandang sebelah mata. Studi PISA meneliti sejauh mana siswa telah mendapatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan (skill) yang esensial untuk dapat berkontribusi secara optimal di masyarakat. Dengan menggunakan beberapa indikator seperti kemampuan matematika, sains, dan membaca, kecerdasan mengenai keuangan, serta kemampuan menyelesaikan masalah (problem solving), studi PISA telah menjadi salah satu parameter penting baginnegara-negara peserta penelitian dalam mengevaluasi kualitas dan efisiensi sistem pendidikan mereka. Lebih lanjut lagi, studi PISA terfokus pada aspek tentang bagaimana siswa menganalisa, memberikan alasan, menyampaikan ide secara efektif, merumuskan, memecahkan, dan menginterpretasi masalah-masalah yang muncul dalam berbagai bentuk dan situasi. Hasil PISA yang buruk mengindikasikan bahwa siswa tidak terbiasa dalam menyelesaikan masalah yang tak biasa dipelajari di sekolah, memodelkan dan menafsirkan solusi untuk masalah tersebut, serta rendahnya kemampuan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skill).
Rendahnya kualitas siswa Indonesia dalam hal kemampuan penalaran dan berpikir kritis disebabkan oleh beberapa hal. Salah satu yang paling terlihat adalah metode pendidikan konvensional (bersifat satu arah dan umumnya dalam bentuk ceramah) yang masih mendominasi sebagian besar proses belajar mengajar di sekolah. Siswa cenderung diajarkan untuk menjadi "bank" penerima ilmu tanpa banyak mengolah dan mengkritisi informasi dan ilmu yang disampaikan. Metode ini tentunya kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif mengeksplorasi dan mengekspresikan diri dalam proses pembelajaran sehingga kemampuan bernalar dan berpikir kritis siswa juga kurang berkembang. Penggunaan metode pembelajaran ini kurang memberikan kesempatan untuk memberdayakan kemampuan berpikir dan terlibat secara aktif dalam pembelajaran.
Selain itu, gaya pengajaran konvensional juga memberikan sedikit ruang bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan tambahan (soft skills) yang penting bagi mereka untuk dapat berkompetisi dalam persaingan dunia kerja. Keterampilan-keterampilan seperti melaksanakan penelitian dan pengamatan, berbicara di depan publik, mengkritisi sebuah pendapat, serta meyakinkan orang lain lewat proses argumentasi sering kali diabaikan. Padahal, mengajarkan siswa berbagai kemampuan tersebut merupakan salah satu tujuan penting pendidikan yang harus dikembangkan saat ini mengingat persaingan dunia kerja yang semakin kompetitif.
Kemampuan berlogika, bernalar, dan penguasaan soft skills seperti tersebut diatas merupakan kemampuan yang esensial untuk dapat terlibat aktif dalam kehidupan masyarakat modern. Hal ini juga sejalan dengan semangat reformasi kurikulum nasional baru yang diusung Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan. Kurikulum nasional 2013 (yang dicanangkan untuk diberlakukan secara umum sejak 2013 namun pada akhirnya ditarik untuk dievaluasi) bertujuan untuk memperbaiki kualitas pengajaran dengan fokus mencapai keseimbangan yang optimal antara perkembangan kemampuan kognitif, terutama kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah, dan perkembangan karakter serta tingkah laku siswa. Kurikulum baru juga menuntut pembelajaran yang lebih berpusat kepada siswa (student-centred) daripada pendidikan dimana guru lebih berperan aktif (teacher-centred). Dengan kata lain, siswa harus berlatih untuk mampu lebih mandiri dan aktif dalam belajar.
Pendidikan Aktif dan Kritis.